Welcome Myspace Comments

1.27.2011

Sejarah Dan Legenda Gunung Ciremai


Legenda gunung cermai Secara singkatnya,konon Walisongo melakukan perjalanan mendaki gunung Ciremai dan di pandu oleh kakeknya Sunan Gunung Jati. Pendakian di mulai dari desa Linggar Jati, dan Pos Ciebunar adalah tempat pertama rombongan Walisongo berkemah.
Medan pendakian lewat jalur ini memang terkenal paling sulit di banding dengan jalur-jaluir lain seperti Palutungan maupun Majalengka. Sampai – sampai kakeknya Sunan Gunung Jati kelelahan (mungkin karena pengaruh usia) pas di pertengahan gunung.
Kakeknya Sunan gunung Jati akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan pendakiannya,dan memilih beristirahat,dan mempersilahkan rombongan Walisongo untuk meneruskan pendakian dengan di temani oleh empat orang pengawalnya sang kakek.
Kakeknya Sunan Gunung Jati memilih istirahat sembari duduk bersila di atas batu besar. Batu inilah yang sekarang di kenal dengan sebutan Batu Lingga. Karena saking lamanya duduk untuk berkhalwat, sampai-sampai batu tempat duduk ini meninggalkan bekas dan berbentuk daun waru atau jantung.
Kakeknya Sunan Gunung Jati sampai lama di tengah gunung Ciremai karena sampai Walisongo sudah turun,Sang Kakek tidak mau ikut turun di karenakan malu.
Karenanya ada yang menyebutnya sebagai Satria Kawirangan.
Di atasnya sedikit dari Pos Batu Lingga ada pos Sangga Buana. Kalau di perhatikan di pos Sangga Buana ini,pohon-pohonnya ada yang unik. Yakni pucuknya meliuk ke arah bawah semua.
Konon, para pengawalnya Sang Kakek yang mestinya menemani Walisango ternyata juga tidak kuat meneruskan pendakian. Akhirnya mereka sepakat untuk mengikuti jejak Sang Kakek. Dan sebagai penghormatan kepada Sang Kakek,mereka membungkukkan badannya kebawah ke arah sang Kakek beristirahat.
Para pengawal ini atas kuasa Allah berubah menjadi pepohonan yang pucuk-pucuknya meliuk kebawah.
Sampailah rombongan Walisongo di bawah puncak 1 ciremai bertepatan dengan waktu sholat ashar tiba. Walisongo pun menunaikan sholat jamaah asar di bawah puncak satu.
Usai sholat asar rombongan Walisongo memutuskan untuk istirahat dan makan bersama.
Namun ketika akan mulai memasak,ternyata semua persediaan laukpauk dan bumbu-bumbunya sudah habis. Cuma ada garam dapur saja yang tersisa.
Seadanya yang penting ada yang di makan,walaupun cuma nasi putih campur garam tetap enak dan bisa untuk menambah tenaga baru.
Karena hal inilah puncak II Ciremai di namakan sebagai Puncak Pengasinan. Karenan cuma makan nasi sama garam yang asin rasanya.
Perjalanan Walisongopun di lanjutkan sampai ke puncak 1. Dan untuk menghormati Kakeknya Sunan Gunung Jati,Walisaongo berdoa minta petunjuk kepada Allah bagaimana cara penghormatan untuk orang sudah bersusah payah ikut memandu pendakian ini.
DenganIzin dan Kuasa Allah SWT, puncak tempat Walisongo berdiri amblas kedalam sampai kedalamannya sejajar dengan tempat Kakeknya Sunan Gunung Jati beristirahat di Batu Lingga.
Karenanya kawah Ciremai memang exotis namun menyeramkan jika di banding dengan dengan kawah-kawah gunung lainnya.
Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui semua kebenaran cerita ini.
Kisah ini pernah diceritakan oleh Mbah Saman,pemilik warung makan dan penginapan di jalur pendakian Linggar Jati. Tepatnya kurang lebih 100 meter setelah Pos pendaftaran.
Satu pesan dari Mbah Saman yang selalu kami ( KOMA PEKALONGAN ) ingat-ingat.
Kalau mau mendaki gunung dengan selamat, jangan melakukan pendakian dari belakang gunung.
Lakukanlah pendakian dari depan sebagai mana sopan santun kita terhadap orang tua.
Bagian depan gunung ialah apabila dilihat gunung itu berbentuk kerucut atau segi tiga...
Sosok Gunung Ciremai, atau sering juga disebut Cerme, memang bagaikan sesosok raksasa yang berdiri menjulang di tengah-tengah dataran rendah kawasan pantai utara Jawa Barat bagian timur. Tingginya yang mencapai 3.078 meter di atas permukaan laut (m dpl) atau 2.578 meter di atas Kota Kuningan membuatnya menjadi gunung tertinggi di seantero Jawa Barat dan Banten. Gunung Ciremai dikategorikan sebagai gunung api kuarter Tipe A berbentuk strato yang masih berstatus aktif. Status aktif Tipe A yang dimilikinya, membuat Ciremai adalah satu dari 80 gunung api sejenis yang tersebar di seluruh Indonesia dan satu di antara gunung api teraktif di Pulau Jawa. Ciremai juga termasuk dalam ratusan gunung api yang membentuk cincin api (ring of fire), yaitu rangkaian gunung api aktif yang berbentuk seperti rantai cincin mengelilingi Samudra Pasifik.
Namun, jika dibanding gunung-gunung api aktif lainnya di Jawa dan Indonesia, Ciremai termasuk memiliki tabiat yang paling “kalem” dan “ramah”, karena sejak letusan pertama yang tercatat dalam sejarah pada tahun 1698 lalu, gunung tersebut tidak pernah mengeluarkan kekuatan yang terlalu berlebihan sehingga menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa manusia.
Menurut Data Dasar Gunung Api di Indonesia yang dimiliki Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), selama kurun waktu 400 tahun terakhir, Gunung Ciremai hanya meletus sebanyak tujuh kali, tanpa data pasti jumlah korban jiwa yang ditimbulkan. Bandingkan dengan Gunung Merapi di Jawa Tengah yang telah meletus 28 kali hanya dalam kurun waktu 130 tahun dan menewaskan ribuan jiwa. Letusan pertama Gunung Ciremai tercatat terjadi pada 3 Februari 1698. Pada waktu itu, digambarkan sebuah gunung besar di Cirebon telah roboh dan menyebabkan permukaan air di sungai-sungai mendadak naik sehingga menyebabkan korban jiwa, tanpa data jumlah korban yang jelas.

Letusan itu disusul letusan kecil pada 11-12 Agustus 1772, 1775, dan April 1805. Ketiganya tanpa menimbulkan jatuhnya korban jiwa atau kerusakan yang berarti. Tahun 1917 terjadi semburan uap belerang di dinding selatan gunung yang dikategorikan dalam letusan, kemudian pada September 1924 terjadi tembusan fumarola kuat di bagian barat kawah dan dinding pemisah kawah. Letusan besar terakhir tercatat pada periode 24 Juni 1937– 7 Januari 1938, berupa letusan preatik dari kawah pusat dan celah-celah radial di dalam perut gunung. Meski tidak jatuh korban jiwa maupun kerusakan berat, tetapi abu vulkanik yang dimuntahkan gunung tersebut tercatat jatuh tersebar di kawasan seluas 52.500 kilometer persegi.
Padahal, bagaimanapun juga, harus tetap disadari bahwa Gunung Ciremai adalah gunung berapi aktif. Bahkan, DVMBG hingga saat ini masih menetapkan sedikitnya tiga daerah kawasan rawan bencana (KRB) dengan tingkat-tingkat risiko masing-masing. KRB I atau Daerah Bahaya adalah daerah dengan radius 5 kilometer dari pusat kawah gunung yang kemungkinan bakal diterjang lahar panas maupun dingin, awan panas, dan jatuhan piroklastik berat, seperti batu-batuan dan bongkahan mineral dari perut gunung pada waktu meletus. Daerah ini meliputi luas wilayah sekitar 145,3 km persegi.
KRB II atau Daerah Waspada adalah daerah dengan radius 8 km dari kawah gunung dan merupakan daerah berisiko terkena lontaran material piroklastik dari dalam kawah dan rawan diterjang lahar hujan atau lahar dingin. Daerah Waspada ini meliputi luas wilayah sebesar 187,8 km persegi.
Kawasan Gunung Ciremai merupakan kawasan Hutan Lindung/Tutupan yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disahkan pada tanggal 28 Mei 1941 dengan fungsi utama pengaturan tata air, pencegah erosi, sedimentasi, longsor, banjir dan bencana alam akibat letusan gunung merapi, menjaga kesuburan tanah areal di bawahnya dan kelestarian flora dan fauna di dalam ekosistemnya.
Seiring dengan perkembangan periode pengelolaan hutan di Indonesia, pada tanggal 10 Maret 1978, Kawasan Hutan Gunung Ciremai telah ditunjuk menjadi hutan produksi wilayah kerja unit produksi (Unit III) Perum Perhutani dengan SK Menteri Pertanian Nomor 143/Kpts/Um/3/1978. Dengan perubahan status kawasan menjadi hutan produksi menyebabkan terganggunya fungsi utama kawasan Gunung Ciremai karena terdapat pengelolaan tanah secara intensif dan penebangan hutan alam yang diganti dengan pohon pinus sehingga mengurangi habitat tumbuhan dan satwa liar. Pada tanggal 4 Juli 2003 Kawasan Hutan Gunung Ciremai yang dikelola Perum Perhutani berubah status menjadi Hutan Lindung Berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 195/Kpts-II/2003.
Usulan Bupati Kabupaten Kuningan dan Majalengka yang disetujui DPRD mendapat respon yang positif sehingga berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004Tanggal 19 Oktober 2004, Perubahan Fungsi Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas + 15.500 ha Terletak di Kabupaten Kuningan Dan Majalengka, rovinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional dan kemudian di kelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai sejak akhir tahun 2006.

1.26.2011

SEJARAH DAN LEGENDA WISATA CURUG NANGKA BOGOR

Sejarah wisata Curug Nangka ternyata dulunya di daerah tersebut ada pohon nangka yang buahnya sebesar gulungan kasur dan pohon tersebut Cuma satu-satunya pohon yang sebesar gulungan kasur didekat curug tersebut, maka itu sampai orang-orang menyebutnya lokasi “Curug Nangka”.
Selain itu, di curug tesebut ada lubang yang bisa tembus ke lokasi Cipatuhunan Kute Maneh Sukabumi dan dicurug itu ada juga tempat atau ruangan buat yang berdiam diri/semedi yaitu sekaligus tempat Ziarah agar segala maksud biar terlaksana seperti contoh minta rizki, naik pangkat atau jabatan dan ternyata benar banyak orang yang dikabulkan segala permintaannya tersebut apalagi bila bulan Maulud banyak sekali orang berziarah yang konon yang “menempati” di Curug Nangka tersebut yaitu Raden Surya Kencana, Bah Haji Gempor, Bah Jamrong, dll. Sampai saat ini Curug Nangka, merupakan salah satu curug andalan Kabupaten Bogor disamping Curug Luhur dan Curug Cilember.
Hal ini dapat terlihat dari foto-foto peta wisata yang menampilkannya dan disandingkan dengan kedua curug tersebut pada pintu masuk ke lokasi.Menuju kelokasi Curug Nangka bukanlah hal yang sulit, jalan yang beraspal meskipun kecil namun mulus mengakibatkan kendaraan bergardan rendahpun sah-sah aja dibawa menuju lokasi ini. Sarana angkutan umum juga tersedia, namun itu berarti butuh tenaga ekstra lagi untuk berjalan dari lokasi pemberhentian angkutan umum ke lokasi wisata ini.Dari papan penunjuk lokasi wisata Curug Nangka terlhat bahwa ada curug lain yang terletak berdekatan dengan curug ini, yang dinamakan Curug Kawung. Disamping itu, terdapat pula bumi perkemahan yang sering digunakan oleh para pencinta alam menghabiskan malam-malamnya dengan mendirikan tenda-tenda beserta api
unggun.
Letak Curug Nangka itu sendiri tidaklah terlalu jauh dari pintu masuk, namun lokasi-nya yang cukup tersembunyi, bisa dimungkinkan terlewatkan saat dikunjungi. Pada kunjungan awal di musim hujan, penulis sendiri menyangka telah mengunjungi dan melihat Curug Nangka, padahal air terjun yang telah penulis lihat sebenarnya adalah Curug Kawung.Lokasi Curug Kawung ini terletak dibagian hulu dari Curug Nangka. Perjalanan menuju Curug Kawung cukup melelahkan karena selain licin oleh hujan atau lembab juga jalan setapak yang dilalui memiliki kontur naik-turun. Meskipun demikian Curug Kawung terletak dilokasi yang cukup terbuka sehingga lebih aman bila sewaktu-waktu terjadi air bah.Berbeda dengan Curug Kawung, lokasi Curug Nangka bisa dikatakan berada dalam lembah yang curam dan dibatasi tebing-tebing yang tinggi yang tentunya bila sewaktu-waktu terjadi air bah akan sangat berbahaya bagi pengunjung karena bisa dikatakan pengunjung berada di dasar sebuah bejana dengan satu jalan keluar yang diapit oleh tebing tanah yang cukup tinggi.
Walau terletak dibagian hilir dari Curug Kawung, Curug Nangka lebih ekspresif disebut sebagai air terjun. Limpahan airnya sangat deras meskipun di musim kemarau ditambah lagi dengan lokasi-nya yang cukup tersembunyi menambahkan kesan yang lebih alami.
Selain menyajikan objek wisata berupa air terjun, di Curug Nangka banyak sekali berkeliaran kera-kera liar. Kera-kera ini terkadang cukup berani menghampiri pengunjung hanya sekedar untuk meminta/mengambil sisa-sisa makanan. Hal ini tentunya memiliki nilai tersendiri sebagai atraksi tambahan. Sayangnya pada kunjungan terakhir ke objek ini, penulis tidak menemukan satu ekor kera-pun yang mau menampakkan diri, mungkinkah disebabkan karena saat itu sepi pengunjung sehingga sedikit makanan ataukah cuaca yang cukup panas menyebabkan kera-kera tersebut lebih memilih untuk bernaung/sembunyi diantara belukar pepohonan.
Curug Nangka dibuka oleh Perhutani tahun 1991 jadi Wana Wisata Curug Nangka dengan luas 17 ha petak 40a RPH Sukamantri BKPH Bogor KPH Bogor, termasuk dalam wilayah administrative Desa Sukajadi dan Desa Gunung malang Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor.

1.14.2011

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kalinya diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. Keadaan alamnya yang khas dan unik, menjadikan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango sebagai salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama.
Tercatat pada tahun 1819, C.G.C. Reinwardt sebagai orang yang pertama yang mendaki Gunung Gede, kemudian disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861), J.E. Teysmann (1839), A.R. Wallace (1861), S.H. Koorders (1890), M. Treub (1891), W.M. van Leeuen (1911); dan C.G.G.J. van Steenis (1920-1952) telah membuat koleksi tumbuhan sebagai dasar penyusunan buku “THE MOUNTAIN FLORA OF JAVA” yang diterbitkan tahun 1972.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki keanekaragaman ekosistem yang terdiri dari ekosistem sub-montana, montana, sub-alpin, danau, rawa, dan savana.
.
Ekosistem sub-montana dicirikan oleh banyaknya pohon-pohon yang besar dan tinggi seperti jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima walliichii). Sedangkan ekosistem sub-alphin dicirikan oleh adanya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangerangensis, bunga eidelweis (Anaphalis javanica), violet (Viola pilosa), dan cantigi (Vaccinium varingiaefolium).
Satwa primata yang terancam punah dan terdapat di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango yaitu owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata comata), dan lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus); dan satwa langka lainnya seperti macan tutul (Panthera pardus melas), landak Jawa (Hystrix brachyura brachyura), kijang (Muntiacus muntjak muntjak), dan musang tenggorokan kuning (Martes flavigula).
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terkenal kaya akan berbagai jenis burung yaitu sebanyak 251 jenis dari 450 jenis yang terdapat di Pulau Jawa. Beberapa jenis diantaranya burung langka yaitu elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dan burung hantu (Otus angelinae).
Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977, dan sebagai Sister Park dengan Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.
Sejarah dan legenda yang merupakan kepercayaan masyarakat setempat yaitu tentang keberadaan Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi di Gunung Gede. Masyarakat percaya bahwa roh Eyang Suryakencana dan Prabu Siliwangi akan tetap menjaga Gunung Gede agar tidak meletus. Pada saat tertentu, banyak orang yang masuk ke goa-goa sekitar Gunung Gede untuk semedhi/ bertapa maupun melakukan upacara religius.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi :
Telaga Biru. Danau kecil berukuran lima hektar (1.575 meter dpl.) terletak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Danau ini selalu tampak biru diterpa sinar matahari, karena ditutupi oleh ganggang biru.
Air terjun Cibeureum. Air terjun yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter terletak sekitar 2,8 km dari Cibodas. Di sekitar air terjun tersebut dapat melihat sejenis lumut merah yang endemik di Jawa Barat.
Air Panas. Terletak sekitar 5,3 km atau 2 jam perjalanan dari Cibodas.
Kandang Batu dan Kandang Badak. Untuk kegiatan berkemah dan pengamatan tumbuhan/satwa. Berada pada ketinggian 2.220 m. dpl dengan jarak 7,8 km atau 3,5 jam perjalanan dari Cibodas.
Puncak dan Kawah Gunung Gede. Panorama berupa pemandangan matahari terbenam/terbit, hamparan kota Cianjur-Sukabumi-Bogor terlihat dengan jelas, atraksi geologi yang menarik dan pengamatan tumbuhan khas sekitar kawah. Di puncak ini terdapat tiga kawah yang masih aktif dalam satu kompleks yaitu kawah Lanang, Ratu dan Wadon. Berada pada ketinggian 2.958 m. dpl dengan jarak 9,7 km atau 5 jam perjalanan dari Cibodas.
Alun-alun Suryakencana. Dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss. Berada pada ketinggian 2.750 m. dpl dengan jarak 11,8 km atau 6 jam perjalanan dari Cibodas.
Gunung Putri dan Selabintana. Berkemah dengan kapasitas 100-150 orang.

Temperatur udara 5° - 28° C
Curah hujan Rata-rata 3.600 mm/tahun
Ketinggian tempat 1.000 - 3.000 m. dpl
Letak geografis 6°41’ - 6°51’ LS, 106°50’ - 107°02’ BT